Musa adalah putra ‘Imran bin Yashhar bin Qahits. Silsilah
keturunan Musa bersambung hingga ke Ya’qub AS putra Ishaq bin Ibrahim.
Saudaranya bernama Harun AS, yang diutus oleh Allah sebagai pembantu
dan penolong Musa ketika ia diutus menghadap Fir’aun untuk menyampaikan risalah
Allah. Itu terjadi atas permohonan Musa, “dan
jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku.” (Qs. Thaha: 29)
Nabi Musa as adalah rasul yang termasuk keturunan Bani
Israil yang dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan raja Fir'aun. Nama asli
raja lalim ini adalah al-Qalid bin Mush’ab yang berjuluk Fir’aun. Fir’aun
merupakan nama yang diberikan kepada raja dan penguasa besar Mesir, seperti
Kisra yang diberikan sebagai julukan bagi raja Persia, dan Qaishar bagi raja
Romawi.
Raja
Fir'aun ini terkenal akan kezalimannya. Ia suka menindas rakyatnya semena-mena.
Dia juga sangat sombong, sampai-sampai dengan pedenya mengakui dirinya sendiri
sebagai Tuhan. Untuk melaksanakan ambisinya dia dibantu banyak tukang sihir.
Ia menikahi Asiyah, seorang
perempuan shalehah yang beriman secara sembunyi-sembunyi. Setiap kali ia mau
menyentuh Asiyah, badannya kaku mendadak. Kasian deh, si Fir'aun hanya bisa
memandangi Asiyah doang!
Fir’aun naik tahta menggantikan saudaranya yang telah
mati, Qabus, yang telah diajak masuk Islam oleh Yusuf, namun ia enggan dan
menentang dengan keras. Yusuf mangkat ke sisi Tuhannya pada masa pemerintahan
Qabus, kerajaannya berumur panjang, mencapai puncak, kemudian musnah. Ketika
kerajaan dikendalikan oleh saudara Qabus, Fir’aun, tekanan terhadap bani
Isra’il semakin keras. Mereka merasakan bermacam-macam siksaan dan cobaan,
hingga hampir saja bani Isra’il musnah. Penguasa ini lebih kejam, kufur, dan
zalim dari pada saudaranya, Qabus. Hari-hari pemerintahan Fir’aun berjalan
lama. Adapun bani Isra’il setelah kewafatan Yusuf AS masih menegakkan dan
memeluk agama bapak mereka, yaitu agama Ibrahim yang hanif dan tidak
memberatkan, hingga masa kerajaan dipimpin oleh Fir’aun di mana mereka
merasakan siksaan dan kejahatan yang tidak pernah dirasakan orang sebelum
maupun sesudah mereka. Karena Qabus tidak lebih jahat dan lebih zalim dari
Fir’aun. Renungkan ayat-ayat surat
al-Qashash berikut:
“Ini
adalah Kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). Kami membacakan kepadamu
sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar bagi orang-orang yang
beriman. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Kami
hendak memberi karunia kepada orang-oragn yang tertindas di bumi (Mesir) itu
dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi). Akan kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami
perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka
khawatirkan dari mereka itu.” (Qs. Al-Qashshash: 2-6).
Masa
pemerintahan Fir’aun
Fir’aun memerintah bani Isra’il lebih dari 400
tahun. Ia membebani mereka dengan siksaan yang berat, merendahkan, dan
menjadikan mereka budak untuk melakukan pekerjaan yang sangat rendah dan hina.
Bani Isra’il dipecah belah menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok yang bertugas membangun,
bertani, menangani pekerjaan-pekerjaan yang kotor dan seterusnya. Orang yang
tidak mempunyai keahlian melakukan satu pekerjaan tertentu dikenai pajak,
sebagaimana firman Allah: “Dan ingatlah
ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya’ mereka
menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya…” (Qs. Al-Baqarah: 49).
Ketika Allah hendak membebaskan bani Isra’il, maka diutuslah Musa untuk
menyelamatkan mereka dari perbuatan jahat sang tirani ini dan melepaskan mereka
dari perbuatan zalim dan kesewenang-wenangannya. Jadi, pengutusan Musa AS
merupakan rahmat bagi bani Isra’il dan pembebas dari penganiayaan sang raja
tirani tersebut.
Suatu
malam dia bermimpi seakan-akan negerinya habis terbakar. Orang-orang Mesir
banyak yang mati. Hanya tinggal orang Israil saja. Pusing banget dia habis
bangun tidur.
Dengan stress, ia mengumpulkan semua
tukang sihirnya. Kira-kira apa sih arti mimpinya? Semua tukang sihirnya juga
sibuk mikir.
Salah seorang dari mereka mengatakan
bahwa maksud mimpi itu adalah kelak akan ada seorang laki-laki Bani Israil yang
menghancurkan kekuasaannya. Jelas Fir'aun ngeper setengah mati.
Maka itu kemudian dia memerintahkan
agar semua bayi laki-laki Bani Israil dibunuh tanpa sisa. Sejak saat itu banyak
bayi laki-laki Bani Israil yang tidak berdosa dibantai di tangan tentara
Fir'aun.
Namun Allah berkehendak lain.
Lahirlah seorang bayi Bani Israil yang dinamai Musa. Ayahnya bernama Imran,
seorang menteri kerajaan yang diam-diam sudah beriman kepada Allah swt. Atas
kekuasaan Allah, Imran tidak sadar istrinya hamil dan meninggal sebelum sang
istri melahirkan.
Ibunya diilhamkan Allah untuk
menghanyutkan bayi Musa dalam sebuah peti kecil ke aliran sungai Nil.
Aliran sungai Nil terus membawa peti
berisi bayi Musa hingga ke istana Fir'aun. Tepat saat itu Asiyah, istri Fir'aun
melihatnya. Ia langsung sayang pada si bayi yang lucu itu. Putri Fir'aun (dari
istri yang lain) yang tadinya punya penyakit kulit belang, langsung sembuh
sakitnya waktu menggendong bayi Musa.
Asiyah dan putri Fir'aun jadi tambah sayang pada si bayi. Diambillah si bayi dan diangkatnya sebagai anak. Mula-mula Fir'aun keberatan, namun ia luluh juga melihat istrinya yang begitu ingin punya anak.
Asiyah dan putri Fir'aun jadi tambah sayang pada si bayi. Diambillah si bayi dan diangkatnya sebagai anak. Mula-mula Fir'aun keberatan, namun ia luluh juga melihat istrinya yang begitu ingin punya anak.
Akan halnya ibu Musa, ia sangat
khawatir kalau bayinya ditemukan dan akhirnya dibunuh Fir'aun. Ia memerintahkan
Maryam, kakak Musa, mengikuti peti itu dari jauh. Maryam pulalah yang lapor
pada ibunya kalau Musa diambil oleh Asiyah.
Tak lama terdengar pengumuman jika
Asiyah mencari seorang perempuan untuk menyusui Musa. Langsung ibu Musa melamar
dan diterima. Sejak saat itu ibu Musa bisa menemani anaknya di istana.
Musa menolak air susu
Musa hidup di istana Fir’aun dalam asuhan Asiyah atas izin
Fir’aun. Allah telah melimpahkan kecintaan terhadap Musa dalam hati Asiyah.
Begitu juga dengan Fir’aun, ia mencintai dan bersikap lembut pada Musa. Hal ini
sejalan dengan firman-Nya, “Aku telah
melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, supaya kamu diasuh di
bawah pengawasan-Ku.” (Qs. Thaha: 39)
Asiyah segera mencari perempuan yang biasa menyusui bayi
(murdhi’) untuk Musa, sebagai dhi’r (perempuan yang menyusui anak
orang lain-terj) yang bertugas menyusui dan mendidik Musa. Tapi, Musa menolak
minum air susu mereka, hingga ia merasa sangat lapar dan menangis
sekeras-kerasnya. Musa tidak mau menyusu dari puting susu para murdhi’, hingga permaisuri Fir’aun
khawatir dengan keselataman jiwa Musa. Akhirnya, Asiyah bergegas mencari murdhi’.
Saudara perempuan Musa melihat kejadian itu, karena ia
mengawasi Musa dari kejauhan. Lalu ia mendatangi Asiyah, istri Fir’aun, dan
mengajukan tawaran, bahwa ia akan membawakan seorang murdhi’ terpercaya, baik, dan menjamin kepuasan bayi yang disusui
sebagai timbal balik dari upah yang diberikan. Permaisuri Fir’aun berkata,
“Bawalah ia kepadaku. Jika Musa mau menyusu dari puntingnya, aku akan
memuliakannya dengan berbagai macam penghargaan.
Saudara perempuan Musa pulang ke rumah dan mendatangi
ibunya, lalu menceritakan berita di atas. Singkat cerita, ibu Musa datang ke
istana. Ketika ia melihat Musa, hampir saja ia berkata, “ini anakku” kalau saja
Allah tidak menguatkan hatinya, hingga keluarga Fir’aun tidak mengira bahwa
perempuan tersebut adalah ibu Musa. Saat ia meletakkan Musa di pangkuannya,
dengan cepat Musa menyambar puting susunya dan menyedotnya dengan rakus dan
penuh kenikmatan sampai ia segar dan perutnya kenyang. Asiyah merasa sangat
senang dan meminta ibu Musa tinggal di istana bersamanya untuk menyusui anak
laki-laki ini. Asiyah berjanji akan memberikan beragam hadiah dan akan
memuliakannya dengan bermacam penghargaan. Tampaklah sifat ‘iffah (menjauhkan dari hal-hal yang tidak baik) ibu Musa, ia
berkata, “Jika anda tidak keberatan, anda mempercayakan anak ini kepadaku, aku
akan membawanya ke rumah dan akan merawatnya dengan penuh kasih dan perhatian,
seperti merawat anakku sendiri. Karena aku tidak tega membiarkan rumah dan
anak-anakku demi merawat anak ini.” Asiyah menyetujui permintaan ibu Musa. Ia memberikan
Musa pada ibunya dengan syarat setiap waktu luang ia harus membawa Musa ke
istana untuk mengetahui kondisinya. Hal ini karena kecintaan Musa telah
menguasai hati Asiyah. Begitulah Allah membuktikan janji-Nya, Ia mengembalikan
Musa pada ibunya untuk disusui dalam kondisi aman tentram di bawah penjagaan
dan perlindungan Fir’aun. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Dan menjadi
kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang
Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang
yang percaya (kepada janji Allah). Ibu Musa berkata kepada saudara perempuan
Musa, ‘Ikutilah dia’ maka terlihat olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak
mengetahuinya. Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau
menyusuinya sebelum itu. Saudara Musa berkata, ‘Maukah kamu aku tunjukkan
kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku
baik kepadanya?’ Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya
dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah
benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Qs. Qashash: 10-13)
Waktu
berjalan terus. Fir'aun dan Asiyah sayang banget sama Musa. Kadang orang
menyebutnya Musa bin Fir'aun. Setelah cukup dewasa, Allah memberikan pangkat
kenabian padanya.
Suatu hari, Nabi Musa sedang
jalan-jalan di kota. Ia melihat seorang Bani Israil sedang bertengkar dengan
seorang Qibthi (Mesir). Beliau mencoba mendamaikan. Tapi si Qibthi keukeuh
nggak mau baikan. Saking jengkelnya, Musa meninju orang itu di dadanya. Orang
itu roboh.
Satu, dua, tiga. Musa menunggu.
Aduh, kok dia nggak bangun-bangun juga sih? Musa panik sendiri. Whaaa...
ternyata orang itu tewas!
Sumpah, Musa menyesal sekali. Ia
nggak pernah berniat membunuh. Maka ia mohon ampun sungguh-sungguh pada Allah,
dan diampuni-Nya. Tapi sejak saat itu Musa ketakutan sendiri.
Musa enggan balik ke istana. Di
jalan, dia menemukan kejadian serupa. Emang sih, Bani Israil dan Mesir itu
nggak pernah akur, kayak Tom and Jerry. Dengan bete, Musa mendekati mereka. Ia
juga nggak mau langsung bela si A atau si B.
Tiba-tiba orang Mesir itu berteriak
mengingatkannya akan peristiwa pembunuhan tempo hari. Kebetulan ada pejabat
istana yang dengar dan langsung lapor ke Fir'aun.
Jadi deh, Musa seorang buronan. Ia
kabur tak tentu arah. Di jalan, beliau bertemu dengan seorang bernama Khizqi
yang menasihatinya agar pergi sejauh mungkin.
Pengembaraan mengantarkan beliau ke
Madyan. Udah jauh banget lagi. Nggak mungkin juga tentara Fir'aun nguber sampai
Madyan.
Musa duduk di bawah pohon. Lapar dan lelah menjadikan dia
merasa penat. Ibnu Abbas berkata, “Musa keluar dari Mesir menuju Madyan. Jarak
antara kedua kota
ini adalah delapan hari perjalanan. Ia hanya memakan sayur dan dedaunan. Ia
tanpa alas kaki, sepasang terompahnya putus akibat perjalanan jauh. Kemudian
Musa duduk di bawah naungan bayang-bayang, ia adalah teman sejati ciptaan
Allah. Perutnya begitu tipis karena lapar dan hijaunya sayuran menghiasi isi
perut beliau. Musa sangat membutuhkan sebiji kurma.”
Siang
bolong, matahari bersinar terik. Musa berteduh di bawah sebatang pohon kurma.
Tak jauh darinya ada sebuah mata air dimana orang berebut mengambil air.
Menyingkir dari situ, tampak dua orang gadis menenteng ember kosong.
Ternyata gadis-gadis itu mau
mengambil air, tapi selalu kalah saingan dengan kaum laki-laki yang berbadan
besar dan kuat. Nabi Musa menawarkan bantuannya untuk mengambilkan air bagi
kedua gadis itu.
Dengan rasa terima kasih, kedua
gadis itu pulang dan bercerita pada ayahnya tentang seorang pemuda baik hati
yang menolong mereka. Sang ayah, yang ternyata Nabi Syuaib, meminta pemuda itu
mau datang menemuinya.
Ternyata Nabi Musa diminta membantu
kedua gadis itu menggembala ternak. Nabi Musa menerimanya karena ia juga butuh
pekerjaan. Tentu sebelumnya ia bercerita pada Nabi Syuaib tentang pelariannya.
Nabi Syuaib sangat puas dengan hasil
kerja Musa. Tambahan lagi Musa sangat sopan dan berbudi baik. Suatu hari Nabi
Syuaib memanggil Nabi Musa. Ternyata ia hendak menjodohkan Musa dengan salah
satu putrinya. Tapi ada syaratnya, Musa harus mengabdi padanya delapan tahun
lagi, syukur-syukur jika ia menggenapkannya menjadi sepuluh tahun. Dengan
senang hati Musa menerimanya.
Musa menikahi Shufairah, salah satu
putri Nabi Syuaib. Mereka hidup sangat bahagia dan bekerja sangat rajin.
Genap sepuluh tahun menikah, Musa
berkeinginan pulang kampung ke Mesir. Saat itu Shufairah sedang hamil tua. Nabi
Syuaib sebagai orang tua yang baik merestui niat mereka untuk mandiri serta
mendoakan keselamatan dan keteguhan iman mereka berdua.
Di perjalanan sepasang suami istri
itu kemalaman. Di tengah gurun sepi, Musa melihat cahaya obor. Ia mengira itu
milik musafir yang kemalaman. Mungkin bisa minta obor kali ya, begitu pikirnya.
Tapi setelah didekati, ternyata
cahaya itu berasal dari sebatang pohon kurma. Aneh sekali. Meski angin gurun
sangat kencang, api itu nggak padam juga. Hati Musa bergetar aneh. Ini firasat
akan terjadinya sesuatu.
Lalu telinganya mendengar sebuah
suara di balik bukit Thur. Itulah suara Allah. Nabi Musa menggigil ketakutan
dan badannya langsung dingin.
Kali kedua Tuhan berseru meminta
beliau mendekat. Kali ini beliau menjadi lebih tenang. Di bukit Thur ini
terjadilah dialog langsung antara beliau dengan Allah.
Malam itu juga beliau dikaruniai dua
mukjizat. Yang pertama, tongkatnya bisa menjadi ular besar. Yang kedua adalah
telapak tangannya yang bisa mengeluarkan cahaya setelah ia keluarkan dari saku
bajunya.
Singkat cerita, beliau dan istrinya
tiba di Mesir, di rumah kerabatnya, Nabi Harun as. Nabi Harun bercerita bahwa
Mesir sudah demikian rusaknya. Banyak kemaksiatan dan kriminalitas di sana.
Suatu saat, Musa dan Harun pergi
menemui Fir'aun. Di sana juga berkumpul para tukang sihirnya. Bagai menemukan buron
yang lama ia cari-cari, Fir'aun merasa ini saat yang tepat untuk menghabisi
Musa. Ia tambah jengkel waktu Musa mengaku sebagai utusan Tuhan. Lho Tuhan yang
mana? Kan gue Tuhannya? Begitu pikir Fir'aun.
Terjadilah dialog antara Musa-Harun
melawan Fir'aun. Eyel-eyelan Fir'aun dilengkapi dengan demo para tukang sihir
yang menyihir ular-ular kecil. Tak lama, Musa memukulkan tongkatnya ke tanah.
Subhanallah... muncul seekor ular besar yang dengan segera melahap ular-ular
kecil itu.
Kontan para tukang sihir dan hadirin
pada melisut ketakutan. Banyak di antara mereka yang langsung menyatakan
beriman akan tanda-tanda kekuasaan Allah itu. Bukan main murkanya Fir'aun!
Langsung saja ia membantai orang-orang beriman. Ngeri membayangkan darah tumpah
di sana saat itu.
Setelah itu Mesir ditimpa kekeringan
yang parahdan angin topan yang dahsyat. Tanaman pada mati dimakan belalang,
kutu, dan katak. Tapi tetap saja Fir'aun dan orang-orangnya tidak mau beriman.
Musa, Harun, dan kaum mukmin yang
tersisa kemudian dikejar oleh balatentara Fir'aun. Ada 100 ribu pasukan berkuda
Fir’aun dengan total balatentara 1,6 juta orang pasukan. Allah sebelumnya telah
mewahyukan Musa untuk menuju ke Laut Merah.
Tiba di Laut Merah, jarak kedua
pasukan sudah semakin rapat. Orang-orang mukmin sudah sangat ketakutan. Allah
mewahyukan Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut.
Subhanallah, tiba-tiba laut
membelah. Tampaklah pasir dari dasar lautan. Musa dan orang-orang beriman bisa
melintasinya hingga ke seberang.
Fir'aun sangat heran melihat
keajaiban itu. Serta merta ia memerintahkan pasukannya mengikuti jalan Musa.
Tapi begitu seluruh pasukan sampai di tengah, laut tiba-tiba menutup lagi.
Semua pasukan Fir'aun tewas tenggelam, tak bersisa!
Musa dan kaumnya tiba di daratan
Sinai. Cuaca sangat panas, orang-orang kelaparan dan kehausan. Musa lalu
berdoa kepada Allah dan diperintahkan memukulkan tongkatnya ke tanah. Maka
menjadilah 12 mata air untuk 12 suku. Dari langit turunlah Manna, sejenis
makanan yang seperti embun namun manis rasanya. Juga Allah menurunkan Salwa,
sejenis burung yang datang berbondong-bondong untuk mereka makan.
Sepeninggal Fir'aun, rakyat sudah
banyak yang beriman. Yang kafir sih ada juga, teteup!
Salah satunya ada yang bernama
Samiri. Ia membuat patung anak sapi dari emas. Emas-emas itu sebenarnya
rampasan dari kaum Bani Israil yang ia lebur di perapian dan kemudian dibentuk
seperti anak sapi. Kalau angin masuk ke lubang mulut patung itu, akan terdengar
suara seperti bunyi lenguhan sapi jantan beneran. Terang saja ini menimbulkan
kekaguman orang.
Atas bujukan Samiri, banyak orang
yang malah menjadikan anak sapi itu sesembahan. Hal ini terjadi saat Nabi Musa
pergi ke bukit Sina selama empat puluh hari untuk menerima wahyu Allah. Saat
itu pengawasan terhadap ummatnya diserahkan kepada Nabi Harun as.
Nabi Harun sudah mengingatkan mereka
tapi tidak berhasil. Keadaan ini membuat Nabi Musa kecewa dan marah. Ia
mendatangi kaumnya dan mencoba menyadarkan mereka. Ia meminta 70 orang
laki-laki untuk ikut bersamanya ke bukit Thur. Mereka harus bertobat di sana.
Kaumnya yang bertobat diterima tobatnya oleh Allah swt.
Allah swt menyuruh Nabi Musa membawa
kaumnya, Bani Israil menetap di tanah suci Baitul Maqdis, Palestina.
Maka beliau menyuruh utusan untuk
terlebih dulu menyelidiki keadaan di sana. Apa boleh buat ternyata si utusan
ini pengecut. Dia ngeper melihat orang Palestina yang tinggi, gede, dan kekar.
Ada dua orang shaleh dari Bani
Israil yang menasihati agar mereka masuk saja dari pintu kota. Namun mereka
membangkang dan menyuruh Musa pergi sendiri ke sana.
Akhirnya Allah mengharamkan Bani
Israil memasuki Palestina dan mereka akan berkeliaran tanpa tujuan di Sinai
selama 40 tahun.
Suatu waktu, Nabi Musa mendatangi
kerabatnya yang bernama Qarun. Dulunya Qarun ini beriman dan sangat alim. Tapi
sejak ia menjadi kaya, ia malah berubah sombong dan kufur. Maksud Nabi Musa
datang adalah untuk mengajaknya kembali kepada keimanan.
Qarun menyambutnya dengan angkuh dan
bahkan cuek banget. Nabi Musa pulang dengan sedih. Dasar Qarun, ia malah
menyuruh pembantunya menaburkan pasir ke kepala Musa.
Musa berdoa kepada Allah atas
penghinaan yang ia terima. Tak lama Allah mengazab Qarun. Semua harta kekayaan
Qarun ditenggelamkan Allah ke dasar tanah dan Qarun yang belagu itu juga disiksa
dengan azab.
Kisah Musa dan Khidir
Al-Qur’an menceritakan pada kita kisah Musa dengan
Khidir. Kisah tersebut menjelaskan kerendahan hati ketika menuntut ilmu dan
berita-berita ghaib menakjubkan yang terjadi di antara mereka berdua, yang
diperlihatkan oleh Allah kepada Khidir AS, dan tidak diketahui oleh Musa AS,
meskipun beliau salah seorang rasul ulul
‘azmi. Hanya Allah saja yang mengetahui rahasia penciptaan Khidir. Dia
memperlihatkan kepada orang yang diungguli (Khidir) sesuatu yang tidak
diperlihatkan kepada orang yang utama (Musa). Kisah ini menyajikan peristiwa
tentang perahu, pembunuhan anak kecil, dan pembangunan dinding. Semuanya adalah
kisah yang meyakinkan dan manakjubkan.
Nabi Saw menginformasikan kisah Musa dan Khidir dengan
metode yang apik dan menarik. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ubai bin
Ka’b yang bersumber dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Suatu hari Musa AS
berkhutbah di hadapan bani Isra’il. Lalu ia ditanya, ‘Siapakah orang yang
paling berilmu?’ Musa menjawab, ‘aku’. Allah menegur Musa, karena ia tidak
mengembalikan ilmu kepada Allah (Allah lah Yang Maha Alim-terj), kemudian Dia
mewahyukan, ‘Sungguh, aku mempunyai seorang hamba di tempat berkumpulnya dua
lautan. Ia lebih alim darimu.’ Musa bertanya, ‘Wahai Tuhanku, bagaimana aku
bisa bertemu dengannya?’ ‘Bawalah seekor ikan dan taruh ia dalam miktal (keranjang dari daun kurma-terj).
Di mana kau merasa kehilangan ikan itu, berarti orang itu ada di sana.’
Musa berangkat bersama seorang pemuda, Yusya’ bin Nun.
Ketika mereka sampai di sebuah batu besar, mereka membaringkan tubuh dan
tertidur di sana.
Ikan yang ada dalam mikyal
bergerak-gerak dan keluar, lalu masuk ke laut: ikan itu melompat mengambil
jalannya di laut. Allah menahan aliran air yang dilalui ikat tersebut, sehingga
jalur air itu seperti busur. Di saat terbangun teman Musa lupa tidak
memberitahu perihal ikan tersebut. Akhirnya mereka pergi menghabiskan siang dan
malam, hingga pada keesokan harinya Musa berkata pada temannya, ‘Bawalah kemari
makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.’ –Musa
tidak merasakan letih hingga ia sampai pada tempat yang telah ditentukan Allah
sebelumnya—pemuda itu berkata pada Musa, ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, sungguh aku lupa menceritakan tentang ikan itu
dan tidak ada yang melupakanku selain setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke
laut dengan cara yang aneh sekali.’ –jadi, bagi ikan berenang di laut itu
merupakan jalannya, sedang bagi Musa dan temanya merupakan suatu keanehan.—Musa
berkata, ‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula.’
Nabi meneruskan kisahnya, “Mereka berdua kembali
mengikuti jejak semula hingga sampai pada batu besar itu. Ternyata Khidir
terbungkus oleh pakaiannya, Musa mengucapkan salam. Khidir menjawab, ‘Mana ada
keselamatan di bumimu?! Siapa engkau?’ ‘Aku Musa.’ ‘Musa bani Isra’il’ kembali
Khidir bertanya. ‘Benar, aku datang kepadamu supaya engkau mengajarku sebagian
ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu.’ Khidir menjawab, ‘Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku. Hai Musa, aku mempunyai
ilmu dari ilmunya Allah yang tidak engkau ketahui yang telah diajarkan
kepadaku. Dan, engkau memiliki ilmu dari sebagian ilmu Allah yang telah diajarkan
kepadamu dan yang tidak aku ketahui. Musa berkata, ‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar. Aku
tidak akan menentangmu dalam satu urusanpun.’ Khidir berkata, ‘Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’
“Mereka berdua berjalan kaki di tepi pantai. Sebuah
perahu lewat, lalu mereka meminta tumpangan pada pemiliknya. Pemilik perahu itu
mengenal Khidir. Mereka berdua naik perahu tidak dipungut bayaran. Ketika
keduanya telah menaiki perahu, Musa dikagetkan oleh Khidir yang tiba-tiba
menjebol beberapa papan kayu perahu dengan martil. Musa berkata, ‘Mereka telah
memberi kita tumpangan gratis, tapi engkau malah merusak lalu
menenggelamkannya, akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya. Sungguh, engkau
telah berbuat suatu kesalahan yang besar.’
Rasulullah bersabda, “Pertanyaan Musa yang pertama kali
kepada Khidir ini karena lupa. Seekor burung pipit datang dan hinggap di
pinggir perahu, lalu ia mematuk ke air laut sekali patukan. Khidir berkata
kepada Musa, ‘Tidaklah ilmuku dan ilmumu dibanding dengan ilmu Allah kecuali
seperti air yang dihisap oleh burung pipit ini dari laut. Kemudian turun dari
perahu. Tatkala keduanya sedang berjalan di pinggir pantai, tiba-tiba Khidir
melihat seorang anak sedang bermain dengan teman-teman sebayanya. Segera Khidir
memenggal kepala anak itu hingga tewas. Musa berkata, ‘Mengapa engkau bunuh
jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan
suatu yang mungkar.’ ‘Bukankah sudah kukatakan, bahwa sesungguhnya kamu tidak
akan bisa sabar bersamaku.’ Jawab Khidir. Sufyan berkata, “Pertanyaan Musa ini
lebih parah dari yang pertama.” Musa berkata, “Jika aku bertanya kepadamu
tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku
menyertaimu, sungguh engkau sudah cukup memberikan udzur padaku.”
Keduanya berjalan, hingga ketika sampai pada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu
mereka. Tidak berselang lama, keduanya menemukan di negeri itu dinding rumah
yang hampir roboh. Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jika engkau
mau, pasti engkau mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata, ‘Inilah perpisahan
antara aku denganmu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan di mana kamu tidak bisa bersabar terhadapnya.” Rasulullah
Saw bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa, Aku ingin andaisaja Musa bisa
bersabar, hingga Allah mengisahkan kepada kita cerita mereka berdua.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Al-Qurthubi berkomentar, “Keramat para wali memang benar
ada berdasarkan keterangan hadis dan ayat-ayat yang mutawatir. Tidak ada yang
mengingkarinya selain pembuat bid’ah penentang atau orang fasik yang akut.
Beberapa ayat tersebut adalah apa yang diinformasikan Allah berkenaan dengan
Maryam, seperti tersedianya buah-buahan musim dingin pada musim panas,
buah-buahan musim panas pada musim dingin, dan apa yang terlihat dari tangannya
ketika menggoyangkan pohon kurma kering, lalu ia berbuah. Padahal Maryam
bukanlah seorang nabi perempuan. Demikian juga, apa yang terlihat lewat tangan
Khidir, seperti menenggelamkan perahu, membunuh anak kecil, dan menegakkan
dinding.”
Musa AS wafat
Musa AS meninggal dunia setelah
meninggalnya saudara laki-lakinya, Harun, di daerah Tih. Beliau tidak masuk ke
daerah al-Muqaddas besama bani Isra’il. Namun, Yusya’ bin Nun lah yang membawa
mereka masuk ke sana,
seperti telah kami jelaskan di depan. Ketika wafat, usia Musa AS telah mencapai
120 tahun.
Ayat-ayat
tentang Nabi Musa as:
QS
Al Qashash 3-17, 24, 25, 30, 32, 35, Asy Syu'araa 18-20, 33, 60-66, Thaahaa
12-14, 86-88, Yunus 92, Al A'raaf 142-145, Al Baqarah 54,