Saya pernah membaca beberapa kali
dalam beberapa versi Broadcast Message yang dikirim melalui Whatsapp Messenger.
Dan anehnya, meski berkali-kali sudah saya baca dan hafal endingnya, namun saya tidak pernah bosan menerima dan
membacanya. Message itu adalah tentang seorang anak yang dengan bahagia, hanya
ingin menjadi orang yang bertepuk tangan menyambut kedatangan seorang pahlawan,
dan bukan menjadi pahlawannya. Sungguh, saya terkesan.
Dalam hati saya, sesungguhnya saya
adalah anak kecil itu. Sejak kecil, saya cenderung menghindari keramaian. Saya
cinta kesunyian dan kesendirian, meski kadang saya juga menikmati berada di tengah
keluarga, sahabat, dan teman. Dalam kesunyian, saya bebas menjadi apa dan
siapapun yang saya mau. Sejak tahu bahwa hampir semua hal dalam hidup ini
adalah kompetisi, saya tahu bahwa saya lebih suka berkompetisi dengan diri saya
sendiri, dengan Tuhan sebagai jurinya. Lalu saya pergi keluar dan menjadi
pemandu sorak sebagai apresiasi atas prestasi orang lain.
Sejak SD saya sering menjadi juara
kelas, turun naik panggung menerima penghargaan jadi hal yang biasa bagi saya,
bahkan hampir tidak lagi terasa getar-getar khususnya. SMP prestasi saya mulai
turun, sebab saya mulai bosan belajar, bosan sekolah, dan lebih suka main-main
di OSIS dan kantin. SMA saya kecewa karena enggak bisa masuk jurusan Bahasa,
dan terpaksa harus masuk IPA. Meski cinta matematika, fisika, dan kimia, tapi
saya lebih cinta bahasa Inggris dan Jerman. Saat itu nilai rapor saya seakan
tak terselamatkan lagi. Tak peduli saya pada nilai-nilai akademis lagi. Saya
hanya senang bergaul dan bermain.
Sementara itu, saya menemukan Tuhan
dan sekaligus menemukan kebahagiaan berada dekat-dekat dengan-Nya lewat cara
yang sangat personal. Saya senang sekali curhat dengan Dia, bercerita
kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia adalah sahabat terbaik saya. Secara sadar, saya
makin membenci kompetisi dalam keramaian. Bersyukur bahwa saya tidak lagi
dikenal dengan gemerlap prestasi akademis. Saya kini Cuma seorang murid biasa.
Sejak itu saya memang nyaris tak
peduli pada apapun yang berujung kepada penghargaan. Saya asyik dengan dunia
saya sendiri. Ketika harus berada dalam sebuah kompetisi, saya menikmatinya
sebagai pengalaman berkompetisi dengan diri sendiri. Sejauh mana saya
mengalahkan rasa malas, sejauh mana saya mengalahkan minder atau bahkan rasa
percaya diri yang over, misalnya. Dan, saya menjadi lebih menikmati keindahan saat
mempersembahkan kebanggaan itu untuk orang-orang yang tercinta. Misalnya ketika
diterima di UI, saya mempersembahkannya untuk orang tua saya. Saya? Senang dan
bersyukur sih, Alhamdulillah. Namun saya ternyata lebih menikmati kegembiraan
karena sejak saat itu saya diizinkan secara resmi untuk mengenakan hijab oleh
kedua orang tua. Saya menjadi terharu dengan doa-doa yang dipanjatkan kedua
orang tua saat saya diterima di kampus kebanggaan tersebut bersamaan dengan
saya berhijab.
Demikianlah, saya jadi lebih
menghargai doa sebagai apresiasi apa yang telah saya lakukan terhadap seseorang
atau sesuatu, bukan ucapan terima kasih yang berbunga-bunga, apalagi dikasih
bunga betulan. Saya enggak suka bunga, soalnya.
Kebiasaan menghargai doa dan
mendoakan itu terus terbawa hingga kini. Hingga saya sudah bersuami dan
dikaruniai tiga anak. Ucapan syukur dari mereka, dan sedikit terima kasih,
sudah cukup bagi saya, jika saya melakukan sesuatu untuk mereka. Tidak perlu
ucapan terima kasih yang lebay. Saya bahkan sudah cukup bahagia ketika wajah
mereka berseri-seri menerima sesuatu dari saya. Sederhana banget ya, saya.
Jadi sejak dulu, dari sononya saya
enggak berbakat jadi pahlawan apalagi selebrita. Saya lebih suka jadi tukang
tepuk tangan atau tukang doa (yang juga selalu bahagia kalau didoakan dengan
tulus). Bagi saya apresiasi terbesar adalah didoakan, sebagaimana saya juga
merasa nyaman menjadi tukang mendoakan orang atau makhluk lain.
Sesederhana itu. Ya, saya memang
sederhana dari sononya. Makanya kalau ada yang kasih penghargaan atau hadiah ke
saya, sekecil apapun, saya akan sangat menghargai, berterima kasih, dan
bersyukur. In return, dengan senang hati saya akan mengingatnya dan membawanya
dalam doa yang sangat personal. Saya yakin, Tuhan akan mengabulkan doa saya dan
doa untuk saya.
Tapi siiih, seperti yang saya bilang
tadi, saya akan menghargai setiap penghargaan, selain doa dan ucapan terima
kasih. Alhamdulillah kalau penghargaannya semacam dikasih Voucher BelanjaSodexo yang dapat digunakan di banyak Merchant Sodexo yang tersebar
dimana-mana. Hehehe….
Yang utama sih, yuk biasakan minta
doa dan mendoakan sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi kita terhadap
seseorang. Lebih berkah, lebih tulus, lebih membahagiakan, dan lebih
multidimensi. Itu pentingnya sebuah doa bagi saya, sebagai apresiasi terindah.
doa itu penghargaan yg paling berharga ya mba, kebaikannya bisa berbalas ke yg mendoakan
BalasHapusHai, Nia, iyaa, doa itu insha Allah diaminkan oleh seluruh alam. Btw, Nia, saya pembaca setia blogmu loooh....
Hapus