Senin, 15 Agustus 2016

Apresiasi Terindah bagi Saya

Saya pernah membaca beberapa kali dalam beberapa versi Broadcast Message yang dikirim melalui Whatsapp Messenger. Dan anehnya, meski berkali-kali sudah saya baca dan hafal endingnya, namun  saya tidak pernah bosan menerima dan membacanya. Message itu adalah tentang seorang anak yang dengan bahagia, hanya ingin menjadi orang yang bertepuk tangan menyambut kedatangan seorang pahlawan, dan bukan menjadi pahlawannya. Sungguh, saya terkesan.
Dalam hati saya, sesungguhnya saya adalah anak kecil itu. Sejak kecil, saya cenderung menghindari keramaian. Saya cinta kesunyian dan kesendirian, meski kadang saya juga menikmati berada di tengah keluarga, sahabat, dan teman. Dalam kesunyian, saya bebas menjadi apa dan siapapun yang saya mau. Sejak tahu bahwa hampir semua hal dalam hidup ini adalah kompetisi, saya tahu bahwa saya lebih suka berkompetisi dengan diri saya sendiri, dengan Tuhan sebagai jurinya. Lalu saya pergi keluar dan menjadi pemandu sorak sebagai apresiasi atas prestasi orang lain.

Sejak SD saya sering menjadi juara kelas, turun naik panggung menerima penghargaan jadi hal yang biasa bagi saya, bahkan hampir tidak lagi terasa getar-getar khususnya. SMP prestasi saya mulai turun, sebab saya mulai bosan belajar, bosan sekolah, dan lebih suka main-main di OSIS dan kantin. SMA saya kecewa karena enggak bisa masuk jurusan Bahasa, dan terpaksa harus masuk IPA. Meski cinta matematika, fisika, dan kimia, tapi saya lebih cinta bahasa Inggris dan Jerman. Saat itu nilai rapor saya seakan tak terselamatkan lagi. Tak peduli saya pada nilai-nilai akademis lagi. Saya hanya senang bergaul dan bermain.
Sementara itu, saya menemukan Tuhan dan sekaligus menemukan kebahagiaan berada dekat-dekat dengan-Nya lewat cara yang sangat personal. Saya senang sekali curhat dengan Dia, bercerita kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia adalah sahabat terbaik saya. Secara sadar, saya makin membenci kompetisi dalam keramaian. Bersyukur bahwa saya tidak lagi dikenal dengan gemerlap prestasi akademis. Saya kini Cuma seorang murid biasa.

Sejak itu saya memang nyaris tak peduli pada apapun yang berujung kepada penghargaan. Saya asyik dengan dunia saya sendiri. Ketika harus berada dalam sebuah kompetisi, saya menikmatinya sebagai pengalaman berkompetisi dengan diri sendiri. Sejauh mana saya mengalahkan rasa malas, sejauh mana saya mengalahkan minder atau bahkan rasa percaya diri yang over, misalnya. Dan, saya menjadi lebih menikmati keindahan saat mempersembahkan kebanggaan itu untuk orang-orang yang tercinta. Misalnya ketika diterima di UI, saya mempersembahkannya untuk orang tua saya. Saya? Senang dan bersyukur sih, Alhamdulillah. Namun saya ternyata lebih menikmati kegembiraan karena sejak saat itu saya diizinkan secara resmi untuk mengenakan hijab oleh kedua orang tua. Saya menjadi terharu dengan doa-doa yang dipanjatkan kedua orang tua saat saya diterima di kampus kebanggaan tersebut bersamaan dengan saya berhijab.
Demikianlah, saya jadi lebih menghargai doa sebagai apresiasi apa yang telah saya lakukan terhadap seseorang atau sesuatu, bukan ucapan terima kasih yang berbunga-bunga, apalagi dikasih bunga betulan. Saya enggak suka bunga, soalnya.

Kebiasaan menghargai doa dan mendoakan itu terus terbawa hingga kini. Hingga saya sudah bersuami dan dikaruniai tiga anak. Ucapan syukur dari mereka, dan sedikit terima kasih, sudah cukup bagi saya, jika saya melakukan sesuatu untuk mereka. Tidak perlu ucapan terima kasih yang lebay. Saya bahkan sudah cukup bahagia ketika wajah mereka berseri-seri menerima sesuatu dari saya. Sederhana banget ya, saya.
Jadi sejak dulu, dari sononya saya enggak berbakat jadi pahlawan apalagi selebrita. Saya lebih suka jadi tukang tepuk tangan atau tukang doa (yang juga selalu bahagia kalau didoakan dengan tulus). Bagi saya apresiasi terbesar adalah didoakan, sebagaimana saya juga merasa nyaman menjadi tukang mendoakan orang atau makhluk lain.
Sesederhana itu. Ya, saya memang sederhana dari sononya. Makanya kalau ada yang kasih penghargaan atau hadiah ke saya, sekecil apapun, saya akan sangat menghargai, berterima kasih, dan bersyukur. In return, dengan senang hati saya akan mengingatnya dan membawanya dalam doa yang sangat personal. Saya yakin, Tuhan akan mengabulkan doa saya dan doa untuk saya.
Tapi siiih, seperti yang saya bilang tadi, saya akan menghargai setiap penghargaan, selain doa dan ucapan terima kasih. Alhamdulillah kalau penghargaannya semacam dikasih Voucher BelanjaSodexo yang dapat digunakan di banyak Merchant Sodexo yang tersebar dimana-mana. Hehehe….



Yang utama sih, yuk biasakan minta doa dan mendoakan sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi kita terhadap seseorang. Lebih berkah, lebih tulus, lebih membahagiakan, dan lebih multidimensi. Itu pentingnya sebuah doa bagi saya, sebagai apresiasi terindah.


2 komentar:

  1. doa itu penghargaan yg paling berharga ya mba, kebaikannya bisa berbalas ke yg mendoakan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Nia, iyaa, doa itu insha Allah diaminkan oleh seluruh alam. Btw, Nia, saya pembaca setia blogmu loooh....

      Hapus